Rabu, 27 Oktober 2010

Perilaku Kekerasan (Amuk) pada Pasien Jiwa

Pertanyaan klise yang paling sering diajukan ketika saya bertemu dengan orang yang baru tahu kalau saya bekerja sebagai perawat di RSJ adalah: " Bagaimana jika ada pasien yang mengamuk? Apa yang akan saya lakukan (atau mungkin lebih tepat apa yang akan dilakukan oleh petugas di RS)?" Saya tidak heran, mereka menanyakan hal itu karena belum tahu. Bahkan pertanyaan seperti itu juga diajukan oleh mahasiswa dan petugas kesehatan yang notabene pernah mempelajarinya di bangku kuliah tapi belum pernah masuk lingkungan Rumah Sakit Jiwa. Melalui tulisan ini saya ingin mengajak pembaca untuk menyelami salah satu dari banyak gejala yang mungkin timbul pada pasien dengan gangguan jiwa (malah mungkin yang paling ditakuti kebanyakan orang), yaitu perilaku amuk dan penanganannya di RS.

Darimana asalnya perilaku amuk?

Perilaku amuk (kekerasan) adalah salah satu bentuk ekspresi perasaan marah. Manifestasi perasaan marah dapat berbeda pada setiap individu dan berfluktuasi sepanjang rentang adaptif dan maladaptive, dari respon asertif – frustrasi – pasif – agresif – sampai kekerasan. Asertif artinya mengungkapkan perasaan secara spontan, tegas dan terbuka tanpa menyakiti perasaan orang lain. Frustrasi adalah respon marah yang dimanifestasikan dalam bentuk rasa kecewa, kalah, terkekang, gagal karena tidak mendapatkan kebutuhan/keinginannya. Pasif adalahkeadaan emosional dimana individu berusaha menekan respon marahnya, melarikan diri secara psikis dan meniadakan kenyataan bahwa ia membutuhkan sesuatu yang gagal terpenuhi, bisa berwujud sikap apatis/tidak peduli, masa bodoh, dan tidak mau tahu. Agresif merupakan perilaku menuntut disertai ancaman kata-kata tanpa niat melukai, ybs memperlihatkan permusuhan tapi umumnya masih bisa mengontrol perilakunya. Kekerasan (amuk) adalah perilaku tak terkendali yang ditandai dengan menyentuh diri sendiri atau orang lain secara menakutkan, mengancam disertai melukai pada tingkat ringan sampai melukai/merusak secara serius.
Coba perhatikan gambar foto anak kecil yang sedang mengekspresikan perasaannya di samping. Ada suatu keinginan dari si anak yang tidak dapat dipenuhi oleh orang tuanya karena suatu alasan yang tidak bisa dipahami oleh anak itu. Menurut Anda, respon marah yang mana dari semua respon marah di atas yang saat ini sedang diperlihatkan oleh si anak? Adaptif atau maladaptif?
Dari keterangan di atas tampak jelas bahwa perilaku amuk (kekerasan) timbul dari perasaan marah. Marah didefinisikan sebagai perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman (Stuart & Sundeen, 1995). Perasaan ini normal dan dapat muncul pada siapa pun, tidak hanya pada pasien jiwa. Tetapi marah yang diekspresikan dengan agresif dan amuk jelas tidak dapat diterima oleh norma social (maladaptive).
Faktor Presipitasi (pencetus)
Berbagai macam stressor dalam kehidupan dapat menjadi pencetus perilaku kekerasan. Stressor bisa berasal dari diri sendiri (kelemahan/penyakit fisik, keputus-asaan, kegagalan meraih sesuatu yang diinginkan, harga diri rendah), situasi lingkungan (lingkungan yang ribut, padat), atau interaksi dengan orang lain (kritikan yang mengarah pada hinaan, kehilangan orang/barang yang dicintai, perasaan ditolak/diabaikkan, dizalimi, dsb).
Faktor predisposisi (yang memudahkan)



  1. Psikologis. Kegagalan, masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan: perasaan ditolak, dihina, dianiaya atau saksi penganiayaan.
  2. Perilaku. Reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan (misal:"Bagus, pukul lagi, kamu kan anak laki!"), sering mengobservasi kekerasan di rumah / di luar rumah, semua aspek ini menstimulasi individu untuk mengadopsi perilaku kekerasan.
  3. Sosial budaya. Budaya tertutup dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima.
  4. Bioneurologis. Banyak pendapat bahwa kerusakan otak pada system limbic, lobus frontal, lobus temporal dan ketidak-seimbangan neurotransmitter turut berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan.
Perilaku kekerasan dapat dilakukan oleh siapapun dan dapat disebabkan oleh apapun. Kehidupan ini terlalu kompleks. Banyak stressor datang menghampiri kita dan jikalau kita tidak bisa menyesuaikan diri maka mungkin saja kita meresponnya dengan cara-cara yang maladaptif termasuk dengan mengamuk. Meski perilaku kekerasan sukar diprediksi karena setiap orang dapat bertindak keras, ada kelompok tertentu yang memiliki kecenderungan untuk melakukannya. Kelompok itu adalah: pria berusia 15 - 25 tahun, orang kota, kulit hitam, atau subgrup dengan budaya kekerasan; peminum alkohol.

Individu yang beresiko melakukan tindak kekerasan
Kunci penentu perilaku kekerasan pada individu adalah: riwayat perilaku kekerasan pada masa lalu, pengguna aktif alkohol, kekerasan fisik pada masa kanak-kanak, dan beberapa bentuk trauma otak.

Tanda-tanda meningkatnya kemarahan
Secara fisik terjadi perubahan-perubahan pada individu seiring dengan meningkatnya kemarahan seperti: muka merah, pandangan tajam, otot-otot tegang, nada suara meninggi, dan berdebat. Sering pula tampak pada pasien jiwa dengan perilaku kekerasan memaksakan kehendak misalnya merampas barang, memukul jika tidak senang. Secara verbal, tidak jarang individu menyatakan perasaan marahnya dengan kasar dan nada tinggi sehingga menarik perhatian. Umumnya tidak sulit untuk menentukan seseorang dalam keadaan amuk karena perubahan perilakunya tampak jelas. Yang sulit adalah memprediksikan seseorang akan melakukan tindak kekerasan.

Bagaimana penanganan pasien dengan perilaku amuk di RS?

Penanganan pasien amuk di RS terdiri dari Managemen Krisis dan Managemen Perilaku Kekerasan. Managemen krisis adalah penanganan yang dilakukan pada saat terjadi perilaku amuk oleh pasien. Tujuannya untuk menenangkan pasien dan mencegah pasien bertindak membahayakan diri, orang lain dan lingkungan karena perilakunya yang tidak terkontrol. Sedangkan managemen perilaku kekerasan adalah penanganan yang dilakukan setelah situasi krisis terlampaui, di mana pasien telah dapat mengendalikan luapan emosinya meski masih ada potensi untuk untuk meledak lagi bila ada pencetusnya.
Managemen krisis
Pada saat situasi krisis, di mana pasien mengalami luapan emosi yang hebat, sangat mungkin pasien melakukan tindak kekerasan yang membahayakan baik untuk diri pasien, orang lain, maupun lingkungan. Walaupun sulit sedapat mungkin pasien diminta untuk tetap tenang dan mampu mengendalikan perilakunya. Bicara dengan tenang, nada suara rendah, gerakan tidak terburu-buru, sikap konsisten dan menunjukkan kepedulian dari petugas kepada pasien biasanya mampu mempengaruhi pasien untuk mengontrol emosi dan perilakunya dengan lebih baik.
Bila pasien tidak bisa mengendalikan perilakunya maka tindakan pembatasan gerak (isolasi) dengan menempatkan pasien di kamar isolasi harus dilakukan. Pasien dibatasi pergerakannya karena dapat mencederai orang lain atau dicederai orang lain, membutuhkan pembatasan interaksi dengan orang lain dan memerlukan pengurangan stimulus dari lingkungan. Pada saat akan dilakukan tindakan isolasi ini pasien diberi penjelasan mengenai tujuan dan prosedur yang akan dilakukan sehingga pasien tidak merasa terancam dan mungkin ia akan bersikap lebih kooperatif. Selama dalam kamar isolasi, supervisi dilakukan secara periodik untuk memantau kondisi pasien dan memberikan tindakan keperawatan yang dibutuhkan termasuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti nutrisi, eliminasi, kebersihan diri, dsb.
Bila tindakan isolasi tidak bermanfaat dan perilaku pasien tetap berbahaya, berpotensi melukai diri sendiri atau orang lain maka alternatif lain adalah dengan melakukan pengekangan/pengikatan fisik. Tindakan ini masih umum digunakan petugas di RS dengan disertai penggunaan obat psikotropika. Untuk menghindari ego pasien terluka karena pengikatan, perlu dijelaskan kepada pasien bahwa tindakan pengikatan dilakukan bukan sebagai hukuman melainkan pencegahan resiko yang dapat ditimbulkan oleh perilaku pasien yang tidak terkendali. Selain itu juga perlu disampaikan pula indikasi penghentian tindakan pengekangan sehingga pasien dapat berpartisipasi dalam memperbaiki keadaan. Selama pengikatan, pasien disupervisi secara periodik untuk mengetahui perkembangan kondisi pasien dan memberikan tindakan keperawatan yang diperlukan. Selanjutnya pengekangan dikurangi secara bertahap sesuai kemampuan pasien dalam mengendalikan emosi dan perilakunya, ikatan dibuka satu demi satu, dilanjutkan dengan pembatasan gerak (isolasi), dan akhirnya kembali ke lingkungan semula.
Pasien yang melakukan kekerasan dan melawan paling efektif ditenangkan dengan obat sedatif dan atau antipsikotik yang sesuai. Obat sedatif yang biasa digunakan misalnya Valium injeksi 5 - 10 mg atau lorazepam (Ativan) 2 -4 mg yang bisa diberikan secara intramuskuler atau intravaskuler. Pada umumnya obat antipsikotik yang paling bermanfaat untuk pasien jiwa yang melakukan kekerasan adalah injeksi Haloperidol 5 -10 mg yang diberikan secara intra muskuler.
Alternatif lain jika obat-obat farmakoterapi tidak efektif adalah dengan ECT (Electro ConvulsionTherapy), suatu upaya menimbulkan kejang umum dengan induksi listrik pada sel otak. Aliran listrik yang digunakan sangat kecil dan berlangsung sangat singkat. Untuk mendapatkan efek menguntungkan dari ECT maka kejang umum harus timbul segera setelah pemberian ECT. Biasanya setelah mengalami kejang umum, pasien akan tertidur beberapa saat dan ketika bangun perilaku agitatifnya sudah menurun. Therapi ini aman dan efektif untuk mengendalikan kekerasan psikotik. Satu atau beberapa kali ECT dalam beberapa jam biasanya mengakhiri suatu episode kekerasan psikotik.
Wah..capek juga nih berpikir, mengingat, dan mencari bahan sambil ngetik. Udah dulu ah... Biarlah masalah managemen perilaku kekerasan dipending untuk bahan posting berikutnya dan menjadi hutang yang harus saya bayar nanti kalau ada kesempatan. Semoga bermanfaat...
to be continued



Sumber:
  1. Budi Anna Kelliat (2002): Makalah Pelatihan Nasional "Asuhan Keperawatan Jiwa dan Komunikasi Therapeutik Keperawatan", PPNI Komisariat RS Dr. Radjiman Wediodiningrat, Lawang, Tidak Dipublikasikan.
  2. Kaplan & Saddock (1997): Sinopsis Psikiatri Jilid 2, Edisi VII, Bina Rupa Aksara, Jakarta.
  3. David A. Tomb (2003): Buku Saku Psikiatri, Edisi VI, EGC, Jakarta.
  4. Kartini Kartono & Dali Gulo (2000): Kamus Psikologi, Pionir Jaya, Bandung.

D



Tidak ada komentar:

Posting Komentar