Sabtu, 03 Desember 2011

MALPRAKTEK DALAM KEPERAWATAN



MALPRAKTEK DALAM KEPERAWATAN
Pendahuluan
Dewasa ini perkembangan keperawatan di Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat pesat menuju kepada perkembangan keperawatan sebagai profesi. Proses ini merupakan suatu proses berubah yang sangat mendasar dan konsepsional, yang mencakup seluruh aspek keperawatan baik aspek pelayanan/asuhan keperawatan, aspek pendidikan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan tehnologi, serta kehidupan keprofesian dalam keperawatan.
Perkembangan keperawatan menuju perkembangan keperawatan sebagai profesi dipengaruhi oleh berbagai perubahan yang cepat sebagai akibat tekanan globalisasi yang juga menyentuh perkembangan keperawatan profesional termasuk tekanan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi keperawatan yang pada hakekatnya harus diimplementasikan pada perkembangan keperawatan profesional di Indonesia (Ma’rifin Husin, 2002). Disamping itu dipicu oleh adanya Undang-Undang No.23 tahun1992 tentang Kesehatan dan Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tuntutan dan kebutuhan masyarakat akan pelayanan keperawatan yang semakin meningkat sebagai akibat kondisi sosial ekonomi yang semakin baik termasuk latas belakang pendidikan yang semakin tinggi yang berdampak pada tututan pelayanan keperawatan yang semakin berkualitas.
Jaminan pelayanan keperawatan yang berkualitas hanya dapat diperoleh dari tenaga keperawatan yang profesional, karena dalam konsep profesi terkait erat tiga nilai sosial, yaitu : a) Pengetahuan yang mendalam dan sistematik, b) Keterampilan teknis dan kiat yang diperoleh melalui latihan lama dan teliti, c) Pelayanan/asuhan kepada yang memerlukan berdasarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan teknis tersebut dengan berpedoman pada filsafat moral yang diyakini, yaitu etika profesi.
Keperawatan sebagai bentuk pelayanan profesional.
Lokakarya keperawatan pada tahun 1983 yang merupakan titik tolak diterimanya profesionalisme keperawatan di Indonesia mendefinisikan keperawatan sebagai suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan keperawatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat, baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Pelayanan keperawatan berupa bantuan yang diberikan karena adanya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemauan menuju kepada kemampuan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri.
Pada hakekatnya keperawatan adalah suatu profesi yang mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan, artinya profesi keperawatan lebih mendahulukan kepentingan kesehatan masyarakat di atas kepentingan sendiri. Pelayanan keperawatan merupakan bentuk pelayanan yang bersifat humanistic dengan menggunakan pendekatan holistic, berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan yang mengacu pada standar pelayanan keperawatan serta menggunakan kode etik keperawatan sebagai tuntunan utama dalam melaksanakan pelayanan/asuhan keperawatan.
Keperawatan sebagai profesi bermakna bahwa sebagai suatu kumpulan pekerjaan yang selanjutnya membangun set norma yang sangat khusus, yang berasa dari perannya di masyarakat ( Edgar H.Schein,1962 dalam Ma’rifin, 1993) yang selanjutnya oleh Hughes,E.C.(1993) lebih mempertegas bahwa profesi menyatakan (profess) yang bermakna ia mengetahui lebih baik tentang sesuatu hal dari orang lain, serta mengetahui lebih baik dari kliennya tentang apa yang diderita atau terjadi pada kliennya..
Dengan demikian dapat dipahami bahwa keperawatan sebagai profesi menuntut penguasaan ilmu pengetahuan dan tehnologi keperawatan dan hal ini diperoleh melalui berbagai jenjang pendidikan pendidikan dibidang keperawatan. pengusaan ilmu pengetahuan dan tehnologi keperawatan akan dimplementasikan dalam praktek keperawatan dengan tetap berpedoman pada standar praktek yang ditetapkan serta senantiasa memperhatikan norma-norma etika profesi.
Mal praktek.
Pada masa yang akan datang dimana kesadaran hukum masyarakat semakin meningkat dimana masyarakat akan lebih menyadari akan haknya, dan disisi lain perawat dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tugas profesinya dengan lebih hati-hati dan penuh tanggung jawab. Hal ini didukung adanya berbagai produk peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang sistem pelayanan keperawatan yang semakin jelas menuntut tenaga keperawatan bekerja secara profesional, dan bila terjadi pelanggaran akan berdampak negatif bagi kliennya, maka perawat diperhadapkan pada tuntutan atau gugatan konsumen sebagaimana antara lain pada UU No.8/1999 pada : Pasal 8 :
(1) pada point (a) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan dan terhadap pelanggaran pada pasal ini maka sanksi hukumnya sebagaimana dinyatakan pada
(2) pasal 62 ayat (1) yaitu dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak dua miliar rupiah.
Hal sarupa Juga ditegaskan pada UU No.23/1992 pada pasal 53 ayat 2 dan 3, pasal 54 ayat 1 dan 2, pasal 55 ayat 1 dan 2, sebagaimana berikut ini.
Pasal 53 :
(2). Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
(3). Tenaga kesehatan, untuk kepentingan pembuktian, dapat melakukan tindakan medis terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan.
Pasal 54 :
(1). Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
(2). Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.
Pasal 55 :
(1). Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
(2). Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Malpraktek yang merupakan bentuk pelanggaran terhadap kaidah-kaidah profesi, dimasa yang akan datang merupakan masalah yang cukup menarik untuk didiskusikan khususnya yang terkait dengan malpraktek bidang keperawatan, yang selama ini kurang mendapat perhatian misalnya untuk menangani masalah yang terkait dengan pelanggaran etika bidang keperawatan , PPNI baru membentuk suatu badan yaitu Majelis Kode Etik Keperawatan ( Anggaran Dasar PPNI Bab VIII) pada tanggal 25 Januari 2002 dimana badan ini berkewenangan menyelidiki dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pelanggaran etik profesi keperawatan sebagaimana pada Anggaran Dasar PPNI pada Pasal 27 yang berbunyi “Majelis Kode Etik berkewenangan menyelidiki dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pelanggaran etik profesi keperawatan”.
Pengertian.
Dalam suatu kasus di California tahun 1956 (Guwandi, 1994) mendefinisikan Malpraktik adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menterapkan tingkat ketrampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah yang sama (Malpractice is the neglect of a physician or nuse to apply that degree of skil and learning on treating and nursing a patient which is customarily applied in treating and caring for the sick or wounded similiarly in the same community).
Ellis dan Hartley (1998) mengungkapkan bahwa malpraktik merupakan batasan yang spesifik dari kelalaian (negligence) yang ditujukan kepada seseorang yang telah terlatih atau berpendidikan yang menunjukkan kinerjanya sesuai bidang tugas/pekejaannya. Terhadap malpraktek dalam keperawatan maka malpraktik adalah suatu batasan yang dugunakan untuk menggambarkan kelalaian perawat dalam melakukan kewajibannya.
Ada dua istilah yang sering dibicarakan secara bersamaan dalam kaitan malpraktik yaitu kelalaian dan malpratik itu sendiri. Kelalaian adalah melakukan sesuatu dibawah standar yang ditetapkan oleh aturan/hukum guna melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yang tidak beralasan dan berisko melakukan kesalahan (Keeton, 1984 dalam Leahy dan Kizilay, 1998).
Menurut Hanafiah dan Amir (1999) mengatakan bahwa kelalaian adalah sikap yang kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut.
Guwandi (1994) mengatakan bahwa kelalaian adalah kegagalan untuk bersikap hati-hati yang umumnya seorang yang wajar dan hati-hati akan melakukan di dalam keadaan tersebut , ia merupakan suatu tindakan yang seorang dengan hati-hati yang wajar tidak akan melakukan di dalam keadaan yang sama atau kegagalan untuk melakukan apa yang seorang lain dengan hati-hati yang wajar justru akan melakukan di dalam keadaan yang sama.
Dari pengertian di atas dapat diartikan bahwa kelalaian lebih bersifat ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tidak peduli terhadap kepentingan orang lain, namun akibat yang ditimbulkan memang bukanlah menjadi tujuannya. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya (Hanafiah & Amir, 1999). Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merengut nyawa orang lain, maka ini dklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminal.
Malpraktek tidaklah sama dengan kelalaian. Malpraktik sangat spesifik dan terksait dengan status profesional dari pemberi pelayanan dan standar pelayanan profesional Malpraktik adalah kegagalan seorang profesional (misalnya dokter dan perawat) melakukan sesuai dengan standar profesi yang berlaku bagi seseorang yang karena memiliki ketrampilan dan pendidikan (Vestal,K.W, 1995). Hal ini bih dipertegas oleh Ellis & Hartley (1998) bahwa malpraktik adalah suatu batasan spesifik dari kelalaian. Ini ditujukan pada kelalaian yang dilakukan oleh yang telah terlatih secara khusus atau seseorang yang berpendidikan yang ditampilkan dalam pekerjaannya. Oleh karena itu batasan malpraktik ditujukan untuk menggambarkan kelaliaian oleh perawat dalam melakukan kewjibannya sebagai tenaga keperawatan.
Kelalaian memang termasuk dalam arti malpraktik, tetapi didalam malpraktik tidak selalu harus ada unsur kelalaian. Malpraktik lebih luas daripada negligence.Karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (criminal malpractice) dan melanggar Undang-undang. Didalam arti kesengajaan tersirat ada motifnya (guilty mind) sehingga tuntutannya dapat bersifat perdata atau pidana.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan malpraktik adalah :
  1. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan.
  2. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajibannya (negligence)
  3. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Malpraktik dalam keperawatan.
Banyak kemungkinan yang dapat memicu perawat melakukan kelalaian atau malpraktik. Perawat dan masyarakat pada umumnya tidak dapat membedakan antara kelalaian dan malpraktik. Walaupun secara nyata jelas penbedaannya sebagaimana telah diuraikan terdahulu. Malpraktik lebih spesifik dan terkait dengan status profesional seseorang misalnya perawat, dokter atau penasehat hukum.
Menurut Vestal, K.W. (1995) mengatakan bahwa untuk mengatakan secara pasti malpraktik ,apabila penggugat dapat menunjukkan dibawah ini :
  1. Duty – Pada saat terjadinya cedera, terkait dengan kewajibanya yaitu kewajiban untuk mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan pasiennya berdasarkan stadar profesi. Hubungan perawat-klien menunjukkan bahwa melakukan kewajiban berdasarkan standar keperawatan.
  2. Breach of the duty--- pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya artinya menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya.Pelanggaran yang terjadi terhadap pasien (misalnya kegagalan dalam memenuhi standar keperawatan yang ditetapkan sebagai kebijakan rumah sakit.
  3. Injury – Seseorang mengalami injury atau kerusakan (damage) yang dapat dituntut secara hukum (misalnya pasien mengalami cedera sebagai akibat pelanggaran. Keluhan nyeri, atau adanya penderitaan atau stress emosi dapat dipertimbangkan sebagai akibat cedera hanya jika terkait dengan cedera fisik).
  4. Proximate caused—pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan/terkait dengan injury yang dialami (misalnya cedera yang terjadi secara langsung berhubungan dengan pelanggaran terhadap kewajiban perawat terhadap pasien).
Sebagai penggugat, harus mampu menunjukkan bukti pada setiap elemen dari keempat elemen di atas. Jika semua elemen itu dapat dibuktikan hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi malpraktik, dan perawat berada pada tuntutan malpraktik. Terhadap tuntutan malpraktik , pelanggaran dapat bersifat pelanggaran :
  1. Pelanggaran etika profesi. Terhadap pelanggaran ini sepenuhnya oleh organisasi profesi ( Majelis Kode Etik Keperawatan) sebagaimana tercamtum pada pasal 26 dan 27 Anggaran Dasar PPNI. Sebagaimana halnya doter, maka perawat pun merupakan tenaga kesehatan yang preofesional yang menghadapi banyak masalah moral/etik sepanjang melaksanakan praktik profesional. Beberapa masalah etik yang sering terjadi pada tenaga keperawatan antara lain moral unpreparedness, moral blindness, amoralism, dan moral fanatism. Untuk menangani masalah etika yang terjadi pada tenaga keperawatan dilakukan organisasi profesi keperawatan (PPNI) melalui Majelis Kode Etik Keperawatan.
2. Sanksi administratif. Berdasarkan Keppres No.56 tahun 1995 dibentuk Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan(MDTK) dalam rangka pemberian perlindungan yang seimbang dan objetif kepada tenaga kesehatan dan masyarakat penerima pelayanan kesehatan. MDTK bertugas meneliti dan menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan. Berdasarkan hasil pemeriksaan MDTK akan dilaporkan kepada pejabat kesehatan berwenang untuk mengambil tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan sebagaimana yang dimaksud tidak mengurangi ketentuan pada : pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yaitu : (1). Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
(2). Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.
Keanggotaan MDTK terdiri dari unsur Sarjana Hukum, ahli kesehatan yang diwakili organisasi profesi di bidang kesehatan, ahli agama, ahli psikologi, dan ahli sosiologi. Organisasi ini berada baik di tingkat pusat, juga ditingkat Propinsi. Sejauh ini di Sulawesi Selatan belum terbentuk MDTK.
  1. Pelanggaran hukum. Pelanggaran dapat bersifat perdata maupun pidana. Pelanggaran yang bersifat perdata sebagaimana pada UU No.23 tahun 1992 pada pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi:
(1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesdalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
(2). Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku..
Hal yang berhubungan dengan ganti rugi dapat bersifat negosiasi atau diselesaikan melalui pengadilan. Pelanggaran yang bersifat pidana sebagaimana pada UU No.23 tahun 1992 pada Bab X (Ketentuan Pidana) berupa pidana penjara dan atau pidana denda, atau sebagimana pada pasal 61 dan 62 UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, berbunyi :
Pasal 61 : Penentuan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Pasal 62 :
(1). Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pasal 8, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000.00 (dua miliar rupiah).
(2). Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda banyak Rp. 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
(3). Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Bidang pekerjaan perawat yang berisiko melakukan kesalahan :
Caffee (1991) dalam Vestal, K.W. (1995) mengidentifikasi 3 area dimana perawat berisiko melakukan kesalahan yaitu Pada tahap pengkajian keperawatan (assessment errors), Perencanaan keperawatan (planning errors), dan tindakan intervensi keperawatan (intervention errors). Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut :
  1. Assessment errors, termasuk kegagalan mengumpulkan data/informasi tentang pasien secara adekuat, atau kegagalan mengidentifikasi informasi yang diperlukan seperti data hasil pemeriksaan laboratorium, tanda-tanda vital, atau keluhan pasien yang membutuhkan tindakan segera. Kegagalan dalam pengumpulan data akan berdampak pada ketidaktepatan menetapkan diagnosa keperawatan dan lebih lanjut akan mengakibatkan dalam kesalahan/ketidaktepatan dalam tindakan.
Untuk menghindari kesalahan ini, perawat seharusnya dapat mengumpulkan data dasar secara komprehensif dan mendasar.
  1. Planning errors, termasuk :
    1. Kegagalan mencatat masalah pasien dan kelalaian menuliskan dalan rencana keperawatan.
    2. Kegagalan mengkomunikasikan secara efektif rencana keperawatan yang telah dibuat (misalnya menggunakan bahasa dalam rencana keperawatan dimana perawat yang lain tidak memahami dengan pasti).
    3. Kegagalan memberikan asuhan keperawatan secara berkelanjutan yang disebabkan kurangnya informasi yang diperoleh dari rencana keperawatan.
    4. Kegagalan memberikan instruksi yang dapat dimengerti oleh pasien.
Untuk mencegah kesalahan tersebut diatas, jangan hanya megira-ngira dalam membuat rencana keperawatan tanpa dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya. Seharusnya dalam menulisan harus dengan pertimbangan yang jelas dengan berdasarkan masalah pasien. Bila dianggap perlu, lakukan modifikasi rencana berdasarkan data baru yang terkumpul. Rencana harus realistik, berdasarkan standar yang telah ditetapkan termasuk pertimbangan yang diberikan oleh pasien. Komunikasikan secara jelas baik secara lisan maupun dengan tulisan. Bekerja berdasarkan rencana dan dilakukan secara hati-hati instruksi yang ada. Setiap pendapatnya perlu divalidasi dengan teliti.
  1. Intervention errors, termasuk kegagalan menginterpretasikan dan melaksanakan tindakan kolaborasi, kegagalan melakukan asuhan keperawatan secara hati-hati, kegagalan mengikuti/mencatat order/perintah dari dokter atau dari supervisor. Kesalahan pada tindakan keperawatan yang sering terjadi adalah kesalahan dalam membaca perintah/order, mengidentifikasi pasien sebelum dilakukan tindakan/prosedur, memberikan obat, dan terapi pembatasan (restrictive therapy). Dari seluruh kegiatan ini yang paling berbahaya nampaknya pada tindakan pemberian obat, oleh karena itu perlunya komunikasi baik diantara anggota tim kesehatan maupun terhadap pasien dan keluarganya.
Untuk menghindari kesalahan ini, sebaiknya rumah sakit tetap melaksanakan program pendidikan berkelanjutan (Continuing Nursing Education).
Beberapa contoh kesalahan perawat :
  1. Pada pasien usia lanjut, pasien mengalami disorientasi pada saat berada diruang perawatan. Perawat tidak membuat rencana keperawatan guna memonitoring dan mempertahankan keamanan pasien dengan memasang penghalang tempat tidur. Sebagai akibat disorientasi, pasien kemudian terjatuh dari tempat tidur pada waktu malam hari dan pasien mengalami patah tulang tungkai.
  2. Pada pasien dengan pasca bedah disarankan untuk melakukan ambulasi. Perawat secara drastis menganjurkan pasien melakukan mobilisasi berjalan, pada hal disaat itu pasien mengalami demam, denyut nadi cepat, dan mengeluh nyeri abdomen. Perawat melakukan ambulasi pada pasien sesuai rencana keperawatan yang telah dibuat tanpa mengkaji terlebih dahulu kondisi pasien. Pasien kemudian bangun dan berjalan, pasien mengeluh pusing dan jatuh sehingga pasien mengalami trauma kepala.
Bagaimana mencegah adanya tuntutan malpraktik :
Sangat perlu bagi seorang perawat beru[aya melakukan sesuatu guna mencegah terjadinya tuntutan malpraktik yaitu upaya mempertahankan standar pelayanan/asuhan yaqng berkualitas tinggi. Hal ini dilakukan dalam pekerjaan sebagai perawat yaitu meningkatkan kemampuan dalam praktik keperaweatan dan menciptakan iklim yang dapat mendorong peningkatan praktik keperawatan., yaitu :
  1. kesadaran diri (self-awareness):
Yaitu mengidentifikasi dan memahami pada diri sendiri tentang kekutan dan kelamahan dalam praktik keperawatan. Bila terindentifikasi akan kelemahan yang dimiliki maka berusahalah untuk mencari penyelesaiannya. Beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu melalui pendidikan, pengalaman langsung, atau berdiskusi dengan teman sekerja/kolega. Apabila berhubungan seorang supervisor, sebaiknya bersikap terbuka akan kelemahannnya dan jangan menerima tanggung jawab dimana perawat yang bersangkutan belum siap untuk itu. Jangan menerima suatu jabatan atau pekerjaan kalau menurut kriteria yang ada tidak dapat dipenuhi.
  1. Beradaptasi terhadap tugas yang diemban
Tenaga keperawatan yang diberika tugas pada suatu unit perawatan dimana dia merasa kurang berpengalaman dalam merawat pasien yang ada di unit tersebut, maka sebaiknya perawat perlu mengikuti program orientasi/program adaptasi di unit tersebut. Perawat perlu berkonsultasio dengan perawat senior yang aa diunit terbut
  1. Mengikuti kebijakan dan prosedur yang ditetapkan
Seorangmperawat dalam melaksanakan tugasnya harus sealu mempertimbangkan kebijakan dan prosedur yang berlaku di unit tersebut. Ikuti kebijakan dan prosedur yang berlaku secara cermat, misalnya kebijakan/prosedur yang berhubungan dengan pemberian obat pada pasien.
  1. Mengevaluasi kebijakan dan prosedur yang berlaku
Ilmu pengetahuan dan tehnologi keperawatan bersifat dinamis artinya berkembang secara terus menerus. Dalam perkembangannya, kemungkinan kebijakan dan prosedur yang ada diperlukan guna menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi. Oleh krena itu itu ada kebutuhan untuk menyeuaikan kebijakan dan proseudr atau protokol tertentu. Untuk itu merupakan tanggung jawab perawat profesional bekerja guna mempertahankan mutu pelayanan sesuai dengan tuntutan perkembangan.
  1. Pendokumentasian
Pencatatan perawat dapat dikatakan sesuatu yang unit dalam tatanan pelayanan kesehatan, karena kegiatan ini dilakukan selama 24 jam. Aspa yang dicatat oleh perawat merupakan faktor yang krusial guna menghindari suatu tuntutan. Dokumentasi dalam suatu pencatatan adalah laporan tentang pengamatan yang dilakukan, keputusan yang diambil, kegiatan yang dilakukan, dan penilaian terhadap respon pasien.
Oleh karena setiap kasus ditentukan adanya fakta yang mednkung suatu tuntutan, maka diperlukan pencatatan yang jelas dan relevan. Pencatatan diperlukan secara jelas, benar, dan jelas sehingga dapat dipahami.
Vestal, K.W (1995) memberikan pedoman guna mencegah terjadinya malpraktik, sebagai berikut :
  1. Berikan kasih sayang kepada pasien sebagaimana anda mengasihi diri sendiri. Layani pasien dan keluarganya dengan jujur dan penuh rasa hormat.
  2. Gunakan pengetahuan keperawatan untuk menetapkan diagnosa keperawatan yang tepat dan laksanakan intervensi keperawatan yang diperlukan. Perawat mempunyai kewajiban untuk menyusun pengkajian dan melaksanakan pengkajian dengan benar.
  3. Utamakan kepentingan pasien. Jika tim kesehatan lainnya ragu-ragu terhadap tindakan yang akan dilakukan atau kurang merespon terhadap perubahan kondisi pasien, diskusikan bersama dengan tim keperawatan guna memberikan masukan yang diperlukan bagi tim kesehatan lainnya.
  4. Tanyakan saran/order yang diberikan oleh dokter jika : Perintah tidak jelas,masalah itu ditanyakan oleh pasien atau pasien menolak, tindakan yang meragukan atau tidak tepat sehubungan dengan perubahan dari kondisi kesehatan pasien. Terima perintah dengan jelas dan tertulis.
  5. Tingkatkan kemampuan anda secara terus menerus, sehingga pengetahuan/kemampuan yang dimiliki senantiasa up-to-date. Ikuti perkemangan yang terbaru yang terjadi di lapangan pekerjaan dan bekerjalah berdasarkan pedoman yang berlaku.
  6. Jangan melakukan tindakan dimana tindakan itu belum anda kuasai.
  7. Laksanakan asuhan keperawatan berdasarkan model proses keperawatan. Hindari kekurang hati-hatian dalam memberikan asuhan keperawatan.
  8. Catatlah rencana keperawatan dan respon pasien selama dalam asuhan keperawatan. Nyatakanlah secara jelas dan lengkap. Catatlah sesegera mungkin fakta yang anda observasi secara jelas.
  9. Lakukan konsultasi dengan anggota tim lainnya. Biasakan bekerja berdasarkan kebijakan organisasi/rumah sakit dan prosedur tindakan yang berlaku.
  10. Pelimpahan tugas secara bijaksana, dan ketahui lingkup tugas masing-masing. Jangan pernah menerima atau meminta orang lain menerima tanggung jawab yang tidak dapat anda tangani.
Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh profesi keperawatan di Indonesia.
Wawasan ilmu keperawatan mencakup ilmu-ilmu yang mempelajari bentuk dan sebab tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, melalui pengkajian mendasar tentang hal-hal yang melatarbelakanginya, serta mempelajari berbagai bentuk upaya untuk mencapai kebutuhan dasar tersebut, melalui pemanfaatan semua sumber yang ada dan potensial. Bidang garapan dan fenomena yang menjadi objek studi ilmu keperawatan adalah penyimpangan atau tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (bio-psiko-sosio-spiritual), mulai dari tingkat individu utuh, mencakup seluruh siklus kehidupan, sampai pada tingkat masyarakat, yang juga tercermin pada tidak terpenuhinya kebutuhan dasar pada tingkat sistem organ fungsional sampai subseluler. Perawat diperhadapkan pada suatu situasi guna mengidentifikasi sejauhmana kebutuhan dasar seseorang tidak terpenuhi dan berbagai upaya membantu klien dalam memenuhi kebutuhan dasar. Hal ini dilakukan dalam proses interaksi perawat-klien. Oleh karena objeknya adalah manusia dalam segala tingkatannya, dan manusia adalah mahluk hidup yang sampai saat ini masih banyak dari aspek manusia belum terungkap melalui ilmu pengetahuan dan ini berarti pula perawat senantiasa diperhadapkan pada kondisi pekerjaan yang penuh dengan risiko. Oleh karenanya, perawat dituntut pada tingkat kemampuan profesional agar ia mampu memberikan pelayanan yang berkualitas dan memuaskan.
Sebagaimana dikemukakan bahwa keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang didasarkan atas ilmu dan kiat keperawatan. hal ini bermakna bahwa pelayanan keperawatan yang profesional hanya dapat dimungkinkan bila tenaga keperawatan yang bertanggung jawab memberikan pelayanan keperawatan adalah juga tenaga keperawatan yang profesional yang ditandai dengan memiliki pengetahuan yang mendalam dan sistematik, ketrampilan tehnis dan kiat yang diperoleh melalui latihan lama dan teliti, serta pelayanan/asuhan kepada yang memerlukan berdasarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan tehnis tersebut dengan berpedoman pada filsafat moral yang diyakini, yaitu etika profesi. Di Indonesia, katagori pendidikan yang menghasilkan tenaga keperawatan profesional adalah diperoleh dari jenjang pendidikan tinggi yang pada saat ini adalah Akademi keperawatan (jenjang Diploma III) dan program pendidikan sarjana keperawatan/Ners.
Pada kenyataannya, masih sebagian besar tenaga keperawatan lulusan SPK (setingkat SMU) yaitu sebanyak 85 % ( Sulaeman, M, Dr., 2000) yang secara formal belum memiliki kemampuan profesional sehingga ditinjau dari aspek hukum belum mampu untuk mempertanggung jawabkan setiap tindakan. Pada situasi dimana terjadi kesalahan yang dilakukan oleh tenaga non profesional, amka perlu dilakukan pelimpahan tanggung jawab kepada atasannya. Dengan jumlah tenaga keperawatan non profesional yang lebih mendominasi asuhan keperawatan di tatanan pelayanan khususnya di rumah sakit belum dapat dilaksanakan secara baik sehingga menyebabkan pelayanan keperawatan yang sesduai dengan standar dan etika profesi belum dapat dilaksanakan sepenuhnya, walaupun beberapa peraturan perundang-undangan telah mengatur .
Undang-undang No.23 Tahun 1992 telah memberikan pengakuan secara jelas terhadap tenaga keperawatan sebagai tenaga profesional sebagaimana pada pasal 32 ayat (4), pasal 53 ayat (1) dan ayat (2). Selanjutnya pada ayat (4) menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Sampai saat ini peraturan tentang standar profesi belum ada. Dengan demikian standar praktik keperawatan yang di sebagian rumah sakit hanya bersifat mengikat kedalam, tetapi keluar yaitu secara hukum belum dapat dipertanggung jawabkan (karena akan ditetapkan dalam Peraturan pemerintah). Sehingga tenaga keperawatan yang saat ini bekerja di tatanan pelayanan tidak memiliki standar baku sebagai pedoman dalam memberikan pelayanan keperawatan. Hal ini berdampak pada rendahnya mutu pelayanan keperawatan dan berisiko terjadinya malpraktik.
Banyak kasus yang keburu diajukan ke pengadilan sebelum ditangani oleh organisasi profesi (misalnya Majelis Kode Etik Keperawatan) yang kadang-kadang bukanlah merupakan pelanggaran hukum (perdata/pidana) tetapi hanya merupakan perlanggaran etik profesi semata. Tidak adanya penanganan dari profesi keperawatan karena sampai saat ini belum ada badan yang dibetuk oleh organisasi profesi keperawatan. sebagaimana yang telah diatur dalam AD/ART PPNI (Majelis Kode Etik Keperawatan tingkat Pusat baru dibentuk pada tanggal 26 Januari 2002, bagaimana dengan Majelis Kode Etik Keperawatan di tingkat propinsi ?). Dimana Majelis Kode etik Keperawatan inilah yang bertanggung jawab menangani masalah tersebut.
Kode etik keperawatan sebagai norma moral yang mengandung nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh setiap tenaga keperawatan dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada kliennya. Sebagai suatu profesi, PPNI memiliki kode etik keperawatan yang ditinjau setiap 5 tahun dalam MUNAS PPNI. Berdasarkan keputusan MUNAS VI PPNI No.09/MUNAS VI/PPNI/2000 tentang Kode Etik Keperawatan Indonesia. Patut dipertanyakan apakah semua perawat di Indonesia mengetahui adanya kode etik keperawatan yang akan dipedomani dalam memberikan pelayanan keperawatan. Mungkin masih sebagian besar dari perawat di Indonesia belum mengetahui adanya kode etik yang dimaksud, apalagi anggota masyarakat lainnya yang perlu pula mengetahui norma moral apa yang diyakini oleh perawat dalam memberikan pelayanan terhadap dirinya. Karena dengan jaminan nilai-nilai luhur ini maka setiap orang akan dengan suka rela menerima uluran tangan perawat.
Sanksi administratif/tindakan disiplin yang diberikan kepada tenaga kesehatan termasuk tenaga keperawatan karena dianggap melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi dalam memberikan pelayanan kesehatan diberikan oleh pejabat yang berwewenang (organisasi dimana tenaga keperawatan bekerja) atas dasar pertimbangan yang diajukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK). Majelis ini dibentuk dengan Keppres No.56 Tahun 1995, yang terdiri dari MDTK Tingkat Pusat dan MDTK Tingkat Propinsi. Sepengetahuan penulis, sampai saat ini MDTK Tingkat Propinsi belum terbentuk. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana sebuah rumah sakit memberikan tindakan disiplin pada tenaga kesehatan yang bekerja di lingkungan rumah sakit tanpa terlebih dahulu kasus pelanggaran tersebut ditangani oleh MDTK Tingkat propinsi. Apabila persoalan diserahkan pada Tingkat Pusat, apakah tidak terjadi keterlambatan dalam pengambilan keputusan ?. Pada kondisi ini nampaknya tenaga kesehatan berada pada posisi yang lemah/dirugikan. Pertanyaan lain yang dapat diajukan adalah ditingkat organisasi profesi keperawatan dikenal adanya Majelis Kode Etik Keperawatan , bagaimana hubungan kerjanya?. Untuk adanya kepastian dalam pengambilan keputusan diperlukan kejelasan baik dalam tata hubungan, lingkup tanggung jawab dan kegiatannya pada masing-masing organisasi yang dibentuk yang memiliki kemiripan dalam arah/sasaran dan tujuan serta lingkup kegiatannya.
Organisasi profesi bertanggung jawab melakukan pembinaan terhadap anggotanya guna mempertahankan kualitas pelayanan yang diberikan anggotanya dan terhindar dari perbuatan yang tercelah (criminal malpractice) atau pelanggaran lainnya. Demikian pula dengan PPNI sebagai organisasi profesi keperawatan bertanggung jawab terhadap pembinaan anggota agar semakin berkualitas dalam memberikan pelayanan. Disadari saat ini bahwa PPNI terutama di tingkat propinsi dan Kabupaten/Kota belum berperan sebagaimana layaknya sebagai organisasi profesi. Keberadaan PPNI di daerah tidak dirasakan sebagai suatu kebutuhan dalam mempertahankan kemampuan profesional anggotanya. Hal ini kadang-kadang dipertanyakan oleh para anggotanya”Apa yang saya peroleh dari organisasi, walaupun kewajiban saya telah saya penuhi untuk organisasi” ?. PPNI yang ada di daerah hanyalah sekedar memenuhi AD/ART PPNI, tetapi kegiatan yang mengarah pada pembinaan anggota kurang mendapat perhatian. Tanpa pembinaan, akan sangat berisiko melakukan malpraktik. Demikian pula dengan terjadinya kasus yang dianggap merupakan pelanggaran yang berlalu begitu saja tanpa turun tangan dari pihak organisasi PPNI, yang kadang-kadang kasusnya menyeret tenaga keperawatan untuk berhubungan dengan Polisi/Jaksa/pengadilan.
Dalam suatu perkara pidana, guna kepentingan pemeriksaan dari suatu kasus diperlukan keterangan ahli yaitu keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan membuat terang suatu perkara (Soerodibroto, S.,2001). Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang melakukan tindak pidana (perawat profesional kah atau non profesional). Saksi ahli yang dimaksud yang akan memberikan keterangan adalah yang dianggap ahli dalam bidang keperawatan (menguasai ilmu keperawatan). Sebagaimana telah dikemukakan bahwa tenaga keperawatan profesional (ahli) hanya terdapat 15 % dari seluruh tenaga keperawatan yang ada, yang tersebar diseluruh pelosok tanah air. Tenaga ini lebih banyak terkonsentrasi dikota-kota besar dan tidak terdistribusi secara merata. Kelangkaan tenaga ahli yang akan berperan sebagai saksi ahli dalam suatu perkara pidana, akan mengakibatkan tenaga perawat tetap berada pada posisi yang lemah.
Pendidikan tenaga keperawatan terutama Program Pendidikan D III Keperawatan saat ini di Indonesia sebanyak 293 yang terdiri dari 58 milik Depkes dan 235 milik Daerah/TNI/POLRI/Swasta (Ake, J., 2000). Penyelenggaraan pendidikan tidak didukung sumber daya yang memadai. Terbatasnya jumlah dan kualitas tenaga pendidikan, terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan, dan terbatasnya lahan praktik sebagai model pelayanan keperawatan profesional akan mengakibatkan mutu lulusan tidak berkualitas. Dengan demikian ijasah menjadi bukan jaminan profesional seseorang, sehingga bagi tenaga ini akan sangat berisiko untuk melakukan malpraktik karena mereka diberi tanggung jawab dan dipercaya sebagai tenaga profesional walaupun tidak didukung oleh kemampuan yang memadai sebagai tenaga keperawatan yang profesional.
Sebagian besar waktu perawat dalam tatanan pelayanan khususnya di rumah sakit adalah mengerjakan pekerjaan yang tidak terkait langsung dengan tugas pokoknya sebagai perawat. Banyak tindakan-tindakan medik yang harus dikerjakan oleh perawat antara lain tindakan invasif, dimana tindakan ini dapat berdampak menimbulkan cedera/injury, kecacatan seumur hidup atau kematian misalnya kesalahan perawat dalam memberikan obat pada pasien. Perawat harus mengerjakan tindakan medik karena keterbatasan tenaga dokter terutama di puskesmas/puskesmas Pembantu. Risiko melakukan kesalahan sangat besar karena perawat tidak siap melakukan tidakan tersebut dengan tepat sesuai prosedur yang berlaku. Mereka hanya diperkaya oleh pengalaman yang diperoleh dilingkungan kerjanya dari sesama perawat dan tidak didukung oleh latar belakang pengetahuan yang memadai. Untuk tindakan medik apabila diperlukan untuk didelegasikan kepada perawat sebaiknya dilakukan secara tertulis (standing order). Saat ini telah tersusun Algoritma klinik (clinical Algorithm) bagi perawat dan bidan di puskesmas yang disusun oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan PPNI bekerjasama dengan Depkes & Kessos RR. Algoritma klinik ini dibuat atas dasar Surat Edaran PB IDI Nomor : 380/PB/E.1/05/2001 perihal Persetujuan pelimpahan wewenang prosedur tindakan medik terbatas bagi perawat dan bidan di Puskesmas. Hal semacam ini diperlukan pula bagi perawat dan bidan yang bekerja di rumah sakit, yang sampai saat ini belum ada sebagaimana di puskesmas. Algoritma klinik perlu diikuti pelatihan bagi perawat dan bidan dalam mengimplementasikan kegiatan tersebut. Kalau hal ini berlaku, dan ternyata dalam pelaksanaannya perawat atau bidan melakukan kesalahan, siapa yang akan bertanggung jawab ?. Apakah cukup perawat saja yang telah melakukan kesalahan, ataukah dokter yang memberikan pelimpahan. Dan bila dokter, siapa yang dimaksudkan apakah dokter yang ada di puskesmas ?. Pertanyaan ini perlu terjawab agar dikemudian hari tidak saling melempar tanggung jawab, yang akan menyebabkan masalah menjadi berlarut-larut.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas menjadi jelas bahwa masalah malpraktik bersifat sangat kompleks karena berbagai faktor yang terkait didalamnya. Sebagai perawat profesional dituntut untuk selalu meningkatkan kemampuannya dengan mengikuti perkembangan yang terjadi baik oleh karena perkembangan IPTEK khususnya IPTEK keperawatan, tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat.
Saat ini perawat diperhadapkan pada berbagai tuntutan pelayanan profesional melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang apabila melakukan kesalahan dan kelalaian akan diperhadapkan pada suatu tuntutan baik dari organisasi profesi, organisasi pelayanan kesehatan, dan tututan hukum.
Perawat di Indonesia sangat berisiko melakukan malpraktik karena tidak didukung oleh kemampuan yang memadai (profesional dalam bidangnya), banyak mengerjakan tindakan kolaboratif/tindakan invasif yang mungkin bukan bidang pekerjaannya sebagai layaknya seorang perawat profesional. Sehingga untuk masalah ini diperlukan pembinaan dari semua pihak yang terkait.
Organisasi profesi sebagai wadah para anggotanya bertanggung jawab untuk meningkatkan mutu tenaga keperawatan sebagai konsekuensi perannya untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan kesejahteraan anggotanya. Operasionalisasi kegiatan organisasi PPNI terjadi disemua tingkat organisasi baik di Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Komisariat
Instituasi pendidikan sebagai lembaga yang menghasilkan tenaga keperawatan profesional bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan secara berkualitas dengan cara mengembangkan dan mengorganisasikan kurikulum nasional kedalam kurikulum institusi, menyediakan segala sumber daya yang dapat mendukung sepenuhnya kegiatan pendidikan. Demikian pula perlu didukung tersedianya lahan praktik yang memungkinkan mengimplementasikan teori-teori kedalam situasi nyata, serta berbagai kebijakan yang mendukung.


BAHAN RUJUKAN
Ake, J.,(2000), Sistem ketenagaan dalam mengembangkan sistem pemberian pelayanan keperawatan, Jakarta (tidak diterbitkan).
Depkes RI (1992), Undang-Undang Republik Indonesia nomor : 23 Tahun 1992 tentang kesehatan, Jakarta : Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Setjen Depkes RI.
Ellis & Hartley (1998), Nursing in today’s world, (6th.ed), Philadelphia : Lippincott.
Guwandi, J. (1994), Kelalaian Medik (medical negligence), (2nd.ed), Jakarta : Balai penerbit FKUI.
Hanafiah dan Amir (1999), Etika kedokteran dan hukum kesehatan, (3rd.ed), jakarta : EGC
IDI dan PPNI (2001), Algoritma Klinik (clinical algorithm) bagi perawat dan bidan di Puskesmas.
Leahy & Kizilay (1998), Foundations of nursing practice ; A nursing process approach, Philadelphia ; W.B.Saunders Company.
Megan & Johnstone (1989), Bio ethics : A nursing perspective, Sydney : W.B. Saunders.
PB IDI (2001), Surat Edaran Nomor 380/PB/E.1/05/2001 perihal Persetujuan pelimpahan wewenang prosedur tindakan medik terbatas bagi perawat dan bidan di Puskesmas.
PP PPNI (2000), Musyawarah nasional VI Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Bandung 12-15 April 2000 (tidak diterbitkan).
PPKC (2000), Pelatihan : Duty manager keperawatan, Jakarta (tidak diterbitkan).
Syawali dan Imaniyati (2000), Hukum perlindungan konsumen, Bandung : CV Mandar Maju.
Ma’rifin Husin (2002), Pendidikan keperawatan di masa depan ; Disampaikan pada rapat kerja nasional PPNI, lawang 26 januari 2002 (tidak diterbitkan).
………... (1993) Pendidikan tinggi keperawatan ; Disampaikan pada pelatihan kurikulum materi GKBN pada program pendidikan D III Keperawatan di Indonesia, jakarta (tidak diterbitkan).
Soerodibroto, S., (2001), KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi mahkamah Agung dan Hoge Raad, (4th.ed), Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Sulaeman, M. Dr. (2000), Pola pelayanan keperawatan dalam menghadapi desentralisasi sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, Direktorat pelayanan keperawatan Ditjen Yanmedik Depkes RI (tidak diterbitkan).
Wijono (1999), Manajemen mutu pelayanan kesehatan, Surabaya : Airlangga university Press.
Vestal, K.W. (1995), Nursing Management : Concepts and issues, (2nd.ed), Philadelphia : J.B.Lippincott Company.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar